“Kenapa kita mesti tertawa saat dapat berkat dan menangis saat diterjang derita? Ingatlah, jalanan yang lurus dan mulus tidak akan pernah menghasilkan pengemudi yang hebat. Laut yang tenang tak akan melahirkan pelaut yang dahsyat. Padahal, Dia ingin kita menjadi pengemudi hebat dan pelaut dahsyat!
Jadi, berkat dan derita, sama-sama istimewa bagi kita!”
Ini memang sudah sifat dasar manusia, “bawaan orok”: mau yang enak-enak dan enggan yang sebaliknya. Maunya menerima berkat namun menolak derita. Padahal, berkat dan derita itu ibarat dua sisi dari sebuah mata uang, two side of a coin! Jika demikian, bagaimana mungkin jika kita hanya mau salah satu sisinya belaka?
Sekarang kita tahu bahwa derita itu identic dengan berkat yang menyamar. Jika kita hanya tertawa pada saat mendapat berkat, sesungguhnya kita hanya mendapatkan setengah dari berkat sesungguhnya atau yang seharusnya kita dapat. Sebab, setengah lainnya “menyamar” dalam bentuk derita.
Dengan demikian, derita selayaknya diperlakukan dengan sikap mental yang sama seperti ketika kita mendapat berkat. Jika itu yang dilakukan, maka segenap derita justru akan membentuk dan mengembangkan kita untuk menjadi lebih matang, tangguh, istimewa, dan teruji. Ibarat pohon manga yang tumbuh sehat dan tinggi justru dengan dilukai batang pohonnya.
Derita seharusnya justru membuat kita jauh lebih terlatih menghadapi apa pun. Tatkala akan menghadapi George Foreman, sang petinju legendaris, Muhammad Ali melakukan latihan khusus. Ia menyewa seorang petinju khusus untuk memukul perutnya. Sakit? Ya! Derita! Jangan Tanya lagi!
Namun, kita semua tahu hasil akhir dari derita perut yang di alami Ali dalam latihannya. Ia menghancurkan George Foreman yang kelelahan memukuli perut Ali yang telah dilatih secara khusus.
Inilah hukum keterujian (HK), yang tak bisa dimungkiri oleh siapa pun. Derita berbuah berkat, itulah inti dari prinsip ini!
Jadi, berkat dan derita, sama-sama istimewa bagi kita!”
Ini memang sudah sifat dasar manusia, “bawaan orok”: mau yang enak-enak dan enggan yang sebaliknya. Maunya menerima berkat namun menolak derita. Padahal, berkat dan derita itu ibarat dua sisi dari sebuah mata uang, two side of a coin! Jika demikian, bagaimana mungkin jika kita hanya mau salah satu sisinya belaka?
Sekarang kita tahu bahwa derita itu identic dengan berkat yang menyamar. Jika kita hanya tertawa pada saat mendapat berkat, sesungguhnya kita hanya mendapatkan setengah dari berkat sesungguhnya atau yang seharusnya kita dapat. Sebab, setengah lainnya “menyamar” dalam bentuk derita.
Dengan demikian, derita selayaknya diperlakukan dengan sikap mental yang sama seperti ketika kita mendapat berkat. Jika itu yang dilakukan, maka segenap derita justru akan membentuk dan mengembangkan kita untuk menjadi lebih matang, tangguh, istimewa, dan teruji. Ibarat pohon manga yang tumbuh sehat dan tinggi justru dengan dilukai batang pohonnya.
Derita seharusnya justru membuat kita jauh lebih terlatih menghadapi apa pun. Tatkala akan menghadapi George Foreman, sang petinju legendaris, Muhammad Ali melakukan latihan khusus. Ia menyewa seorang petinju khusus untuk memukul perutnya. Sakit? Ya! Derita! Jangan Tanya lagi!
Namun, kita semua tahu hasil akhir dari derita perut yang di alami Ali dalam latihannya. Ia menghancurkan George Foreman yang kelelahan memukuli perut Ali yang telah dilatih secara khusus.
Inilah hukum keterujian (HK), yang tak bisa dimungkiri oleh siapa pun. Derita berbuah berkat, itulah inti dari prinsip ini!
EmoticonEmoticon